Kamis, 28 Juni 2012

KOLONIS “KOMIK LONTARA BUGIS” BERBASIS KEARIFAN LOKAL SULAWESI-SELATAN DALAM MENYIKAPI ARUS GLOBALISASI


PENDAHULUAN
Latar Belakang
       Indonesia merupakan negara yang kaya akan berbagai potensi. Baik dari segi Sumber Daya Alam (SDA) maupun Sumber Daya Manusia (SDM). Tidak hanya itu, Indonesia juga dikenal sebagai Negara yang memiliki keanekaragaman budaya yang dinilai sebagai aset dan identitas bangsa. Keanekaragaman budaya Indonesia merupakan sesuatu yang tak ternilai harganya. Keanekaragaman budaya tersebut berupa kebudayaan sukubangsa, masyarakat dan berbagai kebudayaan daerah bersifat kewilayahan (Balqis, 2009).
       Akan tetapi, saat ini keanekaragaman budaya yang dimiliki oleh Indonesia mengalami suatu permasalahan dan gejolak yang luar biasa yang tentunya memerlukan perhatian dari berbagai aspek dan komponen masyarakat. Salah-satu permasalahan yang kini mencuat kepermukaan adalah masalah hak cipta suatu  kebudayaan yang belum dilegalkan dan dipatenkan sehingga dengan mudahnya dicontek dan dicontoh oleh bangsa lain. Tak dapat dipungkiri bahwa daya tarik kebudayaan Indonesia begitu menawan di mata bangsa lain sehingga membuat mereka tertarik  untuk memilikinya. Maka tak heran apabila mereka berusaha untuk
menjiplak dan mencontoh  kebudayaan anak bangsa.
       Salah satu kebudayaan Indonesia yang sudah menjadi identitas adalah keragaman bahasa daerah yang memiliki ciri khas tertentu. Bahasa digunakan untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain, demikian halnya dengan bahasa daerah. Walaupun cakupannya masih spesifik dan hanya digunakan pada daerah tertentu saja, akan tetapi budaya tersebut harus dilestarikan agar tidak tergeser dengan bahasa-bahasa lain yang menyebar di Indonesia.
Seiring dengan perkembagan masa dan kemajuan zaman, seiring itu pulalah berbagai arus pemikiran, budaya-budaya asing serta gaya hidup sudah masuk ke Indonesia. Arus modernisasi dan badai globalisasi melanda bangsa ini yang membuat kita seakan tak punya pilihan lain. Kemudian, kemajuan teknologi mutakhir yang kini menawarkan berbagai impian dan kesenagan yang akan berimbas pada pergeseran budaya lokal.
Tak dapat dipungkiri bahwa saat ini, dikalangan remaja maupun anak-anak sudah tidak membudayakan bahasa daerah dalam kehidupan sehari-hari mereka. Mereka lebih tertarik  untuk menguasai bahasa-bahasa asing dan secara perlahan akan meninggalkan identitas bahasa daerahnya bahkan banyak diantara mereka yang sudah tak mengerti lagi dengan bahasa daerah mereka. Seperti halnya di propinsi Sulawesi-Selatan, yang dikenal sebagai salah satu daerah pelopor bahasa daerah khususnya bahasa bugis. Bahasa bugis adalah bahasa pemersatu masyarakat bugis di berbagai daerah di Sulawesi-Selatan. Namun sayang saat  ini, di berbagai instansi pendidikan dari SD, SMP dan SMA/SMK sederajat di propinsi Soppeng  hanya beberapa instansi saja yang masih mengajarkan bahasa daerah bugis sebagai program pendidikan muatan lokal, sebagian besarnya lagi lebih menitikberatkan pada penguasaan bahasa \asing dan meninggalkan bahasa bugis. Selain dari itu, masyarakat Asli Sulawesi Selatan sudah banyak ditemukan kurang bisa menggunakan bahasa bugis secara aktif, dan sebagiannya lagi hanya bisa memahami secara pasif.  Hal ini haruslah menjadi perhatian agar bahasa daerah bugis tidak hilang khususnya di sulawesi selatan yakni dengan melakukan inovasi cara memahami bahasa bugis yang tidak hanya melalui pendidikan formal di sekolah.
Saat ini, minat baca  masyarakat khususnya remaja dan anak-anak didominasi oleh buku-buku fiksi dan karikatur bergambar seperti novel, cerpen dan komik. Karya fiksi merupakan (......). Melihat kecenderungan para remaja , maka hal ini dapat dijadikan sebagai suatu peluang untuk membangkitkan kembali bahasa bugis agar tidak tergeser oleh bahasa asing. Untuk itu, KOLONIS “KOMIK LONTARA BUGIS” diharapkan menjadi suatu rancangan inovasi yang selanjutnya akan menjadi solusi dalam menjaga dan melestarikan kearifan lokal  khususnya  bahasa bugis di kalangan remaja dan anak-anak bugis di Sulawesi-Selatan.

Tujuan
            Karya tulis ini bertujuan untuk memberikan solusi terhadap permasalahan pelestarian budaya bahasa dan lontara bugis Kabupaten Soppeng Sulawesi-Selatan melalui KOLONIS “KOMIK LONTARA BUGIS” sebagai suatu strategi dan inovasi dalam mejaga kearifan lokal bagi masyarakat Soppeng pada khususnya.
Manfaat
            Manfaat karya tulis ini adalah  meningkatkan kesadaran masyarakat akan cinta budaya lokal bugis serta dapat dijadikan sebagai rekomendasi pemerintah untuk mempopulerkan kembali bahasa bugis yang pernah buming di masa lalu dan kini tergeser oleh budaya dan bahasa-bahasa asing. Manfaat lain yang dapat diperoleh dalam pengembangan karya tulis ini adalah dengan KOLONIS kita juga dapat memperkenalkan sejarah dan kerajaan kabupaten soppeng beserta perkembangannya.
GAGASAN
Kolonis (Komik lontara Bugis) berbasis kearifan lokal di Sulawesi Selatan dalam menyikapi arus Globalisasi.
Kondisi kekinian
            Kebudayaan bangsa Indonesia merupakan sesuatu yang harus dijaga dan dilestarikan sebab kebudayaan tersebut merupakan aset yang tak ternilai harganya. Dari berbagai daerah dan suku  di Indonesia menjadikan Indonesia sebgai negara dengan keanekaragaman budayanya. Kebudayaan bangsa Indonesia inilah yang biasanya kita sebut kearifan lokal.  Misalnya baju adat, bahasa daerah, alat musik, dan sebagainya.
            Salah satu kearifan lokal yang ada di Indonesia  adalah Bahasa Bugis yang menjadi salah satu ciri khas masyarakat suku bugis di Sulawesi selatan. Bahasa bugis ditulis dengan huruf lontara yang biasanya disebut aksara lontara bugis. Huruf lontara adalah abjad dalam bahsa bugis. Namun, seiring dengan perkembangan zaman bahsa bugis seakan ditinggalkan oleh pemiliknya sendiri. Hal ini dapat dibuktikan dengansemakin berkurangnya minat untuk mempelajari bahasa bugis.
        Keluarga sebagai rumah pendidikan pertama bagi anak, sebagian besar tidak lagi menjadikan bahasa bugis sebagai bahsa komunikasi sehari-hari dengan keluarga khususnya masyarakat bugis di sulawesi selatan. Selain itu, yang juga patut menjadi perhatian adalah mata pelajaran di sekolah-sekolah di berbagai tingkatan baik itu SD, SMP, maupun SLTA, mata pelajaran muatan lokal tidak lagi diisi dengan pelajaran bahasa daerah tetapi di ganti dengan pelajaran bahsa asing seperti bahasa jerman, jepang dan  lain-lain. Tak dapat dipungkiri bahwa penguasaan bahasa asing memang penting adanya, akan tetapi basa daerah sendiri tentunya tak boleh ditinggalkan bahkan harus diwariskan kepada generasi selanjutnya sebagai sebuah asset yang tak ternilai harganya.
            Selain hal tersebut diatas, hal yang juga seharusnya menjadi perhatian adalah kurangnya ketertarikan pada bahasa bugis, demikian pula halnya dengan ketertarikan terhadap cerita-cerita bersejarah masyarakat bugis. Pada umumnya, anak-anak dan remaja lebih menynagi bacaan-bacaan seperti komik, majalah, dan novel dibandingkan dengan membaca buku-buku sejarah bugis yang ada padahal banyak sekali sejarah tokoh-tokoh bugis yang dapat di telaah dan mendapat hikmah dan pembelajaran dari kisah tersebut dan tidak menutup kemungkinan menjadi faktor pembentuk karakter yang baik.

PENGARUHGLOBALISASI
 Menurut asala katanya, kata “globalisasi” diambil dari kata global, yang maknanya universal. Achmad Suparman menyatakan globalisasi adalah suatu proses menjadikan sesuatu (benda atau perilaku) sebagai ciri dari setiap individulisasi di dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah. Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali defini kerja, sehingga bergantung dari sisi mana orang melihatnya.  Ada yang memandang sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi, dan budaya masyarakat (Afdjani, 2007).
Di sisi lain ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh negara-negara adikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuk yang paling mutkhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengerah besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti budaya dan agama. Theodore Levitte merupakan orang yang pertama kali menggunakan istilah Globalisasi pada tahun 1985.
Dampak Globalisasi Media Terhadap Budaya dan Perilaku Masyarakat
Globalisasi media massa merupakan proses yang secara nature terjadi, sebagaimana jatuhnya sinar matahari, sebagaimana jatuhnya hujan atau meteor. Pendekatan profesional menjadi kata kunci, masalah dasarnya mudah diterka. Pada titik - titik tertentu, terjadi benturan antar budaya dari luar negeri yang tak dikenal oleh bangsa Indonesia. Jadi kehawatiran besar terasakan benar adanya ancaman, serbuan, penaklukan, pelunturan karena nilai – nilai luhur dalam paham kebangsaan (Afdjani, 2007).
Imbasnya adalah munculnya majalah-majalah Amerika dan Eropa versi Indonesia seperti : Bazaar ,Cosmopolitan ,Spice,FHM, (for Him Magazine) ,Good Housekeeping ,Trax, dan sebagainya. Begitu juga membanjirnya program tayangan dan produk tanpa dapat dibendung. Sehingga bagaimana bagi negara berkembang seperti Indonesia menyikapi fenomena traspormasi globalisasi terhadap prilaku masyarakat dan budaya lokal, karena globalisasi media dengan segala yang dibawanya seperti lewat televisi, radio, majalah, koran, buku film, vcd, HP, dan kini lewat internet sedikit banyak akan berdampak pada kehidupan masyarakat.
Saat ini masyarakat sedang mengalami serbuan yang hebat dari berbagai produk pornografi berupa tabloitd, majalah, buku bacaan di media cetak, televisi, rasio, dan terutama adalah peredaran bebas VCD. Baik yang datang dari luar negeri maupun yang diproduksi sendiri. Walaupun media pernografi bukan barang baru bagi Indonesia, namun tidak pernah dalam skala seluas sekarang. Bahkan beberapa orang asing menganggap Indonesia sebagai ”surga pornografi” karena sangat mudahnya mendapat produk-produk pornografi dan harganya pun murah.
Kebebasan pers yang muncul pada awal reformasi ternyata dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat yang tidak bertanggung jawab, untuk menerbitkan produk-produk pornografi. Mereka menganggap pers mempunyai kemerdekaan yang dijamin sebagai hak asasi warga Negara dan tidak dikenakan penyensoran dan pembredelan. Padahal dalam pasal 5 ayat 1 Undang-undang pers No 40 tahun 1999 itu sendiri, mencantumkan bahwa: ”pers berkewajiban memberikan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat”.
Menurut Afdjani (2007) bahwa Globalisasi pada hakikatnya ternyata telah membawa nuansa budaya dan nilai yang mempengaruhi selera dan gaya hidup masyarakat. Melalui media yang kian terbuka dan kian terjangkau, masyarakat menerima berbagai informasi tenteng peradaban baru yang datang dari seluruh penjuru dunia. Padahal, kita menyadari belum semua warga degara mampu menilai sampai dimana kita sebagai bangsa berada. Begitulah, misalnya banjir informasi dan budaya baru yang dibawa media tak jarang teramat asing dari sikap hidup dan norma yang berlaku. Terutama masalah pornografi dimana sekarang wanita–wanita Indonesia sangat terpengaruh oleh trend mode dari Amerika dan Eropa yang dalam berbusana cenderung minim,yang kemudian ditiru habis-habisan.
Di sini pemerintah dituntut untuk bersikap aktif tidak masa bodoh melihat perkembangan kehidupan masyarakat Indonesia. Menghimbau dan kalau perlu melarang berbagai sepak terjang masyarakat yabg berperilaku yang tidak semestinya. Misalnya ketika Presiden Susilo Bambang Yudoyono menyarankan agar televisi tidak merayakan goyang erotis denga puser atau perut kelihatan. Ternyata dampaknya cukup terasa, banyak televisi yang tidak menayangkan artis yang berpakaian minim.

SOLUSI YANG PERNAH DITAWARKAN

            Mengenai masalah yang sudah dijelaskan tadi sebenarnya telah ada usaha dari berbagai pihak yang telah menangani masalah tersbut. Diantaranya adalah dengan mutan lokal bahasa daerah di sekolah. Akan tetapi, pada kenyataannya hal ini masih belum mampu menjadikan bahasa bugis tidak ditinggalkan oleh pemiliknya. Di sebagian besarsekolah-sekolah utamanya tingkat SMP dan SMA tidak lagi menjadikan bahasa daerah bugis sebagai pelajaran muatan lokal. Akan tetapi lebih menitik beratkan pada penguasaan bhasa asing ataupn yang lainnya seperti komputer. Selain itu salah satu penanganan yang sering dilaksanakan adalah dengan pagelaran seni budaya. Dalam pagelaran seni budaya bugis biasanya ditampilkan tari-tari tradisional bugis, sajak-sajak berbahasa bugis, drama berbahasa bugis dan lagu-lagu darah. Akan tetapi pagelaran seni budaya bugis hanya dilaksanakan pada moment-moment tertentu saja misalnya pada saat dirgahayu kabupten atau kota yang ada disulawesi selatan. Untuk itu kita membutuhkan sebuah solusi yang tidak hanya bisa diimplementasikan pada waktu-waktu tertentu saja akan tetapi kapa pun bisa didapatkan serta tidak mestidalam pendidikan formal dan tetntunya bisa menarik perhatian.


GAGASAN BARU
Kolonis “komik lontara bugis” berbasis kearifan lokal Sulawesi-selatan

Setelah melihat dan menelaah kondisi masyarakat bugis di Sulawesi-selatan saat ini, maka dianggap perlu untuk menciptakan suatu karya dan inovasi sebagai sarana pengembagan kecintaan masyarakat bugis terhadap bahasa dan aksara bugis berbasis kearifan lokal. Maka dari itu, kami menawarkan suatu gagasan yang berjudul KOLONIS “komik lontara bugis” berbasis kearifan lokal Sulawesi-selatan.
Kolonis merupakan suatu rancangan karya sastra daerah bugis yang isinya berupa tulisan dan aksara bugis yang dihiasi dengan gambar-gambar unik yang mengisahkan sejarah-sejarah masyarakat Sulawesi-selatan. Sejarah merupakan kisah-kisah yang terjadi pada masa lampau yang dapat dijadikan sebagai pembelajaran untuk hal-hal yang positif. Dengan hadirnya kolonis ini diharapkan mampu meningkatkan kembali kecintaan masyarakat bugis terhadap adat dan budayanya dalam menggunakan bahasa bugis. Kemudian, dengan kisah-kisah sejarah yang ditawarkan juga diharapkan menjadi edukasi dan pembelajaran bagi masyarakat dan generasi muda pada khususnya yang mulai meninggalkan bahkan melupakan sejarahnya sendiri.
Menilik dan menelaah perkembagan komik diberbagai belahan daerah di dunia seperti japang yang pada umumnya menggunakan bahasa kanji maka KOLONIS ini menjadi sepak terjang untuk bersaing dalam bidang sasatra dengan Negara-negara lain.
Lontaraq adalah sebutan naskah bagi rakyat Sulawesi Selatan. Kata ini diambil dari bahasa Jawa/Melayu yaitu lontar atau palem tal (Borassus flabellifer). Dengan begitu, lontaraq adalah naskah yang ditulis pada daun tal, tradisi yang juga dilakukan oleh orang Sunda, Jawa, dan Bali dalam menulis naskah rontal mereka. Ada pula yang berpendapat bahwa secara etimologis kata lontarak terdiri dari dua kata: raung (daun) dan talak (lontar). Kata raung talak mengalami proses evolusi menjadi lontarak. Lontara bugis merupakan sebutan untuk aksara atau tulisan bugis yang memiliki ciri khas tertentu. Berikut adalah contoh aksara bugis tersebut (Alim, 2001).

Sumber:

Ada begitu banyak kisah dan sejarah masyarakat bugis di Sulawesi-selatan. Salah-satunya adalah sejarah ilagaligo. Dengan diangkatnya sejarah tersebut menjadi sebuah komik yang unik tentunya akan semakin menambah kepopuleran masyarakat bugis di Indonesia.
Filosofi dan Sejarah Aksara Lontara
Aksara Lontara (ada yang menyebutnya Lontaraq atau Lontarak) ialah aksara asli masyarakat Bugis, Makassar, dan Mandar di Sulawesi Selatan. Sebetulnya masih ada huruf Makassar Kuno, yang usianya lebih tua dari aksara Lontara. Namun yang kemudian lestari adalah Lontara. Ada yang berpendapat, bahwa Lontara ini berbeda dengan aksara-aksara lain di Indonesia seperti aksara Bali, Jawa, Lampung, Sunda, yang oleh sebagian besar filolog dikaitkan dengan aksara Pallawa dari India. Aksara Lontara ini tidak dipengaruhi budaya lain, termasuk india. Namun ada pula yang berpendapat bahwa aksara ini merupakan turunan dari Pallwa. Selain aksara sendiri, masyarakat Bugis menggunakan dialek sendiri yang dikenal dengan “bahasa Ugi”. Sementara itu, suku lainnya di Sulawesi Selatan yaitu Saqdan Toraja, tak memiliki tradisi menulis, hanya memiliki tradisi lisan (Andi, 2005).
Bentuk aksara Lontara, menurut budayawan Prof Mattulada, berasal dari “sulapa eppa wala suji”. Wala berarti “pemisah/pagar/penjaga”, dan suji yang berarti “putri”. Wala suji adalah sejenis pagar bambu dalam acara ritual yang berbentuk belah ketupat. Sulapa eppa, berarti “empat sisi”, merupakan bentuk mistik kepercayaan Bugis-Makassar klasik yang menyimbolkan susunan semesta, yakni api-air-angin-tanah. Maka darki itu, bentuk aksara Lontara sendiri berbentuk segi empat (belah ketupat). Hal ini didasari pemahaman filosofis kultural masyarakat Makassar bahwa kejadian manusia berasal dari empat unsur, yaitu butta (tanah), pepek (api), jeknek (air), dan (anging) angin (Andi, 2005).
Menurut sejarah, aksara Lontara diperkenalkan oleh Sabannarak atau Syahbandar Kerajaan Gowa yang bernama Daeng Pamatte. Ketika Kerajaan Gowa diperintah oleh Raja Gowa IX Daeng Matanre Karaeng Manngutungi yang bergelar Karaeng Tumapakrisik Kallonna, Daeng Pamatte menjabati dua jabatan sekaligus yaitu Sabannarak merangkap Tumailalang (Menteri Urusan Istana dan Dalam Negeri). Pada waktu itu Karaeng Tumapakrisik Kallonna memberikan titah kepada Daeng Pamatte untuk menciptakan aksara yang dapat dipakai untuk tulis-menulis. Pada 1538, Daeng Pamatte berhasil mengarang aksara Lontara yang terdiri atas 18 huruf dan juga tulisan huruf Makassar Kuno. Akhirnya, aksara Lontara ini dipermoderen dan bentuknya lebih disederhanakan sehingga jumlah hurufnya menjadi 19, akibat masuknya pengaruh bahasa Arab (John, 2002).
Sistem Aksara Lontara
Aksara Lontara telah ada sejak abad ke-12. Aksara ini berjumlah 23 huruf  (termasuk bunyi konsonan dan vokal a) yang disusun berdasarkan aturan tersendiri. Dalam sistem aksara ini, dikenal penanda vokal untuk u, e, o, ae (Alim, 2001). Berikut tabel aksara Lontara:


Sumber:
Namun, aksara Lontara tidak mengenal hurup atau lambang untuk mematikan hurup misalnya sa menjadi s. Ketiadaan tanda-mati ini cukup membingungkan bila ingin menuliskan huruf mati. Juga, di banding aksara-aksara lain, aksara Lontara tak memiliki semua fonem. Beberapa huruf ditafsirkan secara teoretis dengan sembilan cara berbeda, dan ini juga kadang-kadang menimbulkan masalah bagi penafsiran pembaca. Maka dari itu, di masyarakat Bugis dikenal adanya elong maliung bettuanna, yakni nyanyian dengan makna tersembunyi. Misalnya kata buaja buluq (buaya gunung) merujuk pada macang (harimau). Ejaan macang sama dengan ejaan macca (pintar), yang menjadi makna turunan dari buaja buluq.
 Kebudayaan diciptakan karena adanya kebutuhan(needs) manusia untuk mengatasi berbagai problem yang ada dalam kehidupan mereka. Melalui suatu proses berfikir yang diekspresikan kedalam berbagai wujud. Salah satu wujud kebudayaan manusia adalah tulisan. Seperti halnya dengan wujud-wujud kebudayaan lainnya. Penciptaan tulisan pun diciptakan karena adanya kebutuhan manusia untuk mengabdikan hasil-hasil pemikiran mereka (Balqis, 2009).
Menurut Coulmas, pada awalnya tulisan diciptakan untuk mencatatkan firman-firman tuhan, karena itu tulisan disakralkan dan dirahasiakan. Namun dalam perjalanan waktu dengan berbagai kompleksitas kehidupan yang dihadapi oleh manusia, maka pemikiran manusia pun mengalami perkembangan demikian pula dengan tulisan yang dijadikan salah satu jalan keluar untuk memecahkan problem manusia secara umumnya. Seperti yang dikatakan oleh Coulmas “a king of social problem solving, and any writing system as the comman solution of a number of related problem” (1989:15)
    Begitu pula yang terjadi pada kebudayaan di Indonesia. Ada beberapa suku bangsa yang memiliki huruf antara lain. Budaya Jawa, Budaya Sunda, Budaya Bali, Budaya Batak, Budaya Rejang, Budaya Melayu, Budaya Bugis dan Budaya Makassar. Sementara bila ditempatkan dalam kebudayaan bugis, Lontaraq mempunyai dua pngertian yang terkandung didalamnya (Alim, 2001):
a.       Lontaraq sebagai sejarah dan ilmu pengetahuan
b.      Lontaraq sebagai tulisan
Kata lontaraq berasal dari Bahasa Bugis/Makassar yang berarti daun lontar. Kenapa disebuat sebagai lontaraq ? karena pada awalnya tulisan tersebut di tuliskan diatas daun lontar. Daun lontar ini kira-kira memiliki lebar 1 cm sedangkan panjangnya tergantung dari cerita yang dituliskan. Tiap-tiap daun lontar disambungkan dengan memakai benang lalu digulung pada jepitan kayu, yang bentuknya mirip gulungan pita kaset (Andi, 2005). Cara membacanya dari kiri kekanan. Aksara lontara biasa juga disebut dengan aksara sulapaq eppaq. Dimana karakter huruf bugis ini diambil dari Aksara Pallawa (Rekonstruksi aksara dunia yang dibuat oleh Kridalaksana). Berikut adalah skemanya:
 
  Skema diatas menjelaskan bahwa ternyata karakteristik aksara lontara bugis berawal dari aksara pallawa yang kemudian melahirkan aksara jawa, bugis, thai dan lain sebagainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut