PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia
merupakan negara yang kaya akan berbagai potensi.
Baik dari segi Sumber Daya Alam (SDA) maupun Sumber
Daya Manusia (SDM). Tidak hanya itu, Indonesia juga dikenal sebagai Negara yang
memiliki keanekaragaman budaya yang dinilai sebagai aset dan identitas bangsa.
Keanekaragaman budaya Indonesia merupakan sesuatu
yang tak ternilai harganya. Keanekaragaman budaya tersebut berupa kebudayaan sukubangsa, masyarakat dan
berbagai kebudayaan daerah bersifat kewilayahan (Balqis, 2009).
Akan tetapi, saat ini keanekaragaman budaya yang dimiliki oleh Indonesia
mengalami suatu permasalahan dan gejolak yang luar biasa yang tentunya memerlukan perhatian
dari berbagai aspek dan komponen masyarakat. Salah-satu permasalahan yang kini
mencuat kepermukaan adalah masalah hak cipta suatu kebudayaan yang belum dilegalkan dan
dipatenkan sehingga dengan mudahnya dicontek dan dicontoh oleh bangsa lain. Tak
dapat dipungkiri bahwa daya tarik kebudayaan Indonesia begitu menawan di mata
bangsa lain sehingga membuat mereka tertarik untuk memilikinya. Maka tak heran apabila
mereka berusaha untuk
menjiplak dan mencontoh kebudayaan anak bangsa.
Salah satu kebudayaan Indonesia yang sudah menjadi identitas adalah keragaman
bahasa daerah yang memiliki ciri khas tertentu. Bahasa digunakan untuk berinteraksi dan
berkomunikasi dengan orang lain, demikian halnya dengan bahasa daerah. Walaupun
cakupannya masih spesifik dan hanya digunakan pada daerah tertentu saja, akan
tetapi budaya tersebut harus dilestarikan agar tidak tergeser dengan
bahasa-bahasa lain yang menyebar di Indonesia.
Seiring dengan
perkembagan masa dan kemajuan zaman, seiring itu pulalah berbagai arus
pemikiran, budaya-budaya asing serta gaya hidup sudah masuk ke Indonesia. Arus modernisasi dan badai globalisasi melanda bangsa ini yang membuat kita
seakan tak punya pilihan lain. Kemudian, kemajuan teknologi mutakhir
yang kini menawarkan berbagai impian dan kesenagan yang akan berimbas pada
pergeseran budaya lokal.
Tak dapat dipungkiri
bahwa saat ini, dikalangan remaja
maupun anak-anak sudah tidak membudayakan bahasa daerah
dalam kehidupan sehari-hari mereka. Mereka lebih tertarik untuk menguasai bahasa-bahasa
asing dan secara perlahan akan meninggalkan identitas bahasa daerahnya bahkan banyak diantara mereka yang
sudah tak mengerti lagi dengan bahasa daerah mereka. Seperti halnya di propinsi Sulawesi-Selatan, yang dikenal sebagai salah satu daerah pelopor bahasa daerah
khususnya bahasa bugis. Bahasa bugis adalah bahasa pemersatu masyarakat bugis
di berbagai daerah di Sulawesi-Selatan. Namun
sayang saat ini, di berbagai instansi pendidikan dari SD,
SMP dan SMA/SMK sederajat di propinsi
Soppeng hanya beberapa instansi saja yang masih
mengajarkan bahasa daerah bugis sebagai program pendidikan muatan lokal,
sebagian besarnya lagi lebih menitikberatkan pada penguasaan bahasa \asing dan meninggalkan
bahasa bugis. Selain dari itu,
masyarakat Asli Sulawesi Selatan sudah banyak ditemukan kurang bisa menggunakan
bahasa bugis secara aktif, dan sebagiannya lagi hanya bisa memahami secara
pasif. Hal ini haruslah menjadi
perhatian agar bahasa daerah bugis tidak hilang khususnya di sulawesi selatan
yakni dengan melakukan inovasi cara memahami bahasa bugis yang tidak hanya
melalui pendidikan formal di sekolah.
Saat ini, minat baca masyarakat khususnya remaja dan anak-anak didominasi oleh buku-buku fiksi dan karikatur bergambar seperti novel,
cerpen dan komik. Karya fiksi merupakan (......). Melihat kecenderungan para
remaja , maka hal ini dapat dijadikan sebagai suatu peluang untuk membangkitkan kembali bahasa
bugis agar tidak tergeser oleh bahasa asing. Untuk itu, KOLONIS “KOMIK LONTARA BUGIS” diharapkan menjadi suatu rancangan inovasi yang
selanjutnya akan menjadi solusi dalam menjaga dan melestarikan kearifan lokal khususnya bahasa bugis di kalangan remaja dan anak-anak bugis di Sulawesi-Selatan.
Tujuan
Karya tulis ini bertujuan untuk
memberikan solusi terhadap permasalahan pelestarian budaya bahasa dan lontara
bugis Kabupaten Soppeng Sulawesi-Selatan melalui KOLONIS “KOMIK LONTARA BUGIS” sebagai
suatu strategi dan inovasi dalam mejaga kearifan lokal bagi masyarakat Soppeng pada khususnya.
Manfaat
Manfaat karya tulis ini adalah meningkatkan kesadaran masyarakat akan cinta
budaya lokal bugis serta dapat dijadikan sebagai rekomendasi pemerintah untuk
mempopulerkan kembali bahasa bugis yang pernah buming di masa lalu dan kini
tergeser oleh budaya dan bahasa-bahasa asing. Manfaat lain yang dapat
diperoleh dalam pengembangan karya tulis ini adalah dengan KOLONIS kita juga dapat memperkenalkan sejarah dan kerajaan
kabupaten soppeng beserta perkembangannya.
GAGASAN
Kolonis
(Komik lontara Bugis) berbasis kearifan lokal
di Sulawesi Selatan dalam menyikapi arus
Globalisasi.
Kondisi kekinian
Kebudayaan bangsa Indonesia
merupakan sesuatu yang harus dijaga dan dilestarikan sebab kebudayaan tersebut
merupakan aset yang tak ternilai harganya. Dari berbagai daerah dan suku di Indonesia menjadikan Indonesia sebgai
negara dengan keanekaragaman budayanya. Kebudayaan bangsa Indonesia inilah yang
biasanya kita sebut kearifan lokal.
Misalnya baju adat, bahasa daerah, alat musik, dan sebagainya.
Salah
satu kearifan lokal yang ada di Indonesia
adalah Bahasa Bugis yang menjadi salah satu ciri khas masyarakat suku
bugis di Sulawesi selatan. Bahasa bugis ditulis dengan huruf lontara yang
biasanya disebut aksara lontara bugis. Huruf lontara adalah abjad dalam bahsa
bugis. Namun, seiring dengan perkembangan zaman bahsa bugis seakan ditinggalkan
oleh pemiliknya sendiri. Hal ini dapat dibuktikan dengansemakin berkurangnya
minat untuk mempelajari bahasa bugis.
Keluarga sebagai rumah pendidikan
pertama bagi anak, sebagian besar tidak lagi menjadikan bahasa bugis sebagai
bahsa komunikasi sehari-hari dengan keluarga khususnya masyarakat bugis di
sulawesi selatan. Selain itu, yang juga patut menjadi perhatian adalah mata
pelajaran di sekolah-sekolah di berbagai tingkatan baik itu SD, SMP, maupun
SLTA, mata pelajaran muatan lokal tidak lagi diisi dengan pelajaran bahasa
daerah tetapi di ganti dengan pelajaran bahsa asing seperti bahasa jerman,
jepang dan lain-lain. Tak dapat
dipungkiri bahwa penguasaan bahasa asing memang penting adanya, akan tetapi
basa daerah sendiri tentunya tak boleh ditinggalkan bahkan harus diwariskan
kepada generasi selanjutnya sebagai sebuah asset yang tak ternilai harganya.
Selain
hal tersebut diatas, hal yang juga seharusnya menjadi perhatian adalah kurangnya ketertarikan
pada bahasa bugis, demikian pula halnya dengan ketertarikan
terhadap cerita-cerita bersejarah masyarakat bugis. Pada umumnya, anak-anak dan
remaja lebih menynagi bacaan-bacaan seperti komik, majalah, dan novel
dibandingkan dengan membaca buku-buku sejarah bugis yang ada padahal banyak
sekali sejarah tokoh-tokoh bugis yang dapat di telaah dan mendapat hikmah dan
pembelajaran dari kisah tersebut dan tidak menutup kemungkinan menjadi faktor
pembentuk karakter yang baik.
PENGARUHGLOBALISASI
Menurut
asala katanya, kata “globalisasi” diambil dari kata global, yang maknanya universal. Achmad Suparman menyatakan
globalisasi adalah suatu proses menjadikan sesuatu (benda atau perilaku)
sebagai ciri dari setiap individulisasi di dunia ini tanpa dibatasi oleh
wilayah. Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali defini kerja,
sehingga bergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandang sebagai suatu proses
sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh
bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu
tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan
batas-batas geografis, ekonomi, dan budaya masyarakat (Afdjani, 2007).
Di
sisi lain ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh
negara-negara adikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif
atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah
kapitalisme dalam bentuk yang paling mutkhir. Negara-negara yang kuat dan kaya
praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak
berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengerah
besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain
seperti budaya dan agama. Theodore Levitte merupakan orang yang pertama kali
menggunakan istilah Globalisasi pada tahun 1985.
Dampak
Globalisasi Media Terhadap Budaya dan Perilaku Masyarakat
Globalisasi media massa merupakan proses yang secara
nature terjadi, sebagaimana jatuhnya sinar matahari, sebagaimana jatuhnya hujan
atau meteor. Pendekatan profesional menjadi kata kunci, masalah dasarnya mudah
diterka. Pada titik - titik tertentu, terjadi benturan antar budaya dari luar negeri
yang tak dikenal oleh bangsa Indonesia. Jadi kehawatiran besar terasakan benar
adanya ancaman, serbuan, penaklukan, pelunturan karena nilai – nilai luhur
dalam paham kebangsaan (Afdjani, 2007).
Imbasnya adalah munculnya
majalah-majalah Amerika dan Eropa versi Indonesia seperti : Bazaar
,Cosmopolitan ,Spice,FHM, (for Him Magazine) ,Good
Housekeeping ,Trax, dan sebagainya. Begitu juga membanjirnya program tayangan dan
produk tanpa dapat dibendung. Sehingga bagaimana bagi negara berkembang seperti
Indonesia menyikapi fenomena traspormasi globalisasi terhadap prilaku
masyarakat dan budaya lokal, karena globalisasi media dengan segala yang
dibawanya seperti lewat televisi, radio, majalah, koran, buku film, vcd, HP,
dan kini lewat internet sedikit banyak akan berdampak pada kehidupan
masyarakat.
Saat ini masyarakat sedang
mengalami serbuan yang hebat dari berbagai produk pornografi berupa tabloitd,
majalah, buku bacaan di media cetak, televisi, rasio, dan terutama adalah
peredaran bebas VCD. Baik yang datang dari luar negeri maupun yang diproduksi
sendiri. Walaupun media pernografi bukan barang baru bagi Indonesia, namun
tidak pernah dalam skala seluas sekarang. Bahkan beberapa orang asing
menganggap Indonesia sebagai ”surga pornografi” karena sangat mudahnya mendapat
produk-produk pornografi dan harganya pun murah.
Kebebasan pers yang muncul pada
awal reformasi ternyata dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat yang tidak
bertanggung jawab, untuk menerbitkan produk-produk pornografi. Mereka
menganggap pers mempunyai kemerdekaan yang dijamin sebagai hak asasi
warga Negara dan tidak dikenakan penyensoran dan pembredelan. Padahal dalam
pasal 5 ayat 1 Undang-undang pers No 40 tahun 1999 itu sendiri, mencantumkan
bahwa: ”pers berkewajiban memberikan peristiwa dan opini dengan menghormati
norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat”.
Menurut Afdjani (2007) bahwa
Globalisasi pada hakikatnya ternyata telah membawa nuansa budaya dan nilai yang
mempengaruhi selera dan gaya hidup masyarakat. Melalui media yang kian terbuka
dan kian terjangkau, masyarakat menerima berbagai informasi tenteng peradaban
baru yang datang dari seluruh penjuru dunia. Padahal, kita menyadari belum
semua warga degara mampu menilai sampai dimana kita sebagai bangsa berada.
Begitulah, misalnya banjir informasi dan budaya baru yang dibawa
media tak jarang teramat asing dari sikap hidup dan norma yang berlaku.
Terutama masalah pornografi dimana sekarang wanita–wanita Indonesia sangat
terpengaruh oleh trend mode dari Amerika dan Eropa
yang dalam berbusana cenderung minim,yang kemudian ditiru habis-habisan.
Di sini pemerintah dituntut untuk
bersikap aktif tidak masa bodoh melihat perkembangan kehidupan masyarakat
Indonesia. Menghimbau dan kalau perlu melarang berbagai sepak terjang
masyarakat yabg berperilaku yang tidak semestinya. Misalnya ketika Presiden
Susilo Bambang Yudoyono menyarankan agar televisi tidak merayakan goyang erotis
denga puser atau perut kelihatan. Ternyata dampaknya cukup terasa, banyak
televisi yang tidak menayangkan artis yang berpakaian minim.
SOLUSI YANG
PERNAH DITAWARKAN
Mengenai masalah yang sudah
dijelaskan tadi sebenarnya telah ada usaha dari berbagai pihak yang telah
menangani masalah tersbut. Diantaranya adalah dengan mutan lokal bahasa daerah
di sekolah. Akan tetapi, pada kenyataannya hal ini masih belum mampu menjadikan
bahasa bugis tidak ditinggalkan oleh pemiliknya. Di sebagian besarsekolah-sekolah
utamanya tingkat SMP dan SMA tidak lagi menjadikan
bahasa daerah bugis sebagai pelajaran muatan lokal. Akan tetapi lebih menitik
beratkan pada penguasaan bhasa asing ataupn yang lainnya seperti komputer.
Selain itu salah satu penanganan yang sering dilaksanakan adalah dengan
pagelaran seni budaya. Dalam pagelaran seni budaya bugis biasanya ditampilkan
tari-tari tradisional bugis, sajak-sajak berbahasa bugis, drama berbahasa bugis
dan lagu-lagu darah. Akan tetapi pagelaran seni budaya bugis hanya dilaksanakan
pada moment-moment tertentu saja misalnya pada saat dirgahayu kabupten atau
kota yang ada disulawesi selatan. Untuk itu kita membutuhkan sebuah solusi yang
tidak hanya bisa diimplementasikan pada waktu-waktu tertentu saja akan tetapi
kapa pun bisa didapatkan serta tidak mestidalam pendidikan formal dan tetntunya
bisa menarik perhatian.
GAGASAN
BARU
Kolonis “komik lontara bugis” berbasis kearifan lokal Sulawesi-selatan
Setelah melihat dan
menelaah kondisi masyarakat bugis di Sulawesi-selatan saat ini, maka dianggap
perlu untuk menciptakan suatu karya dan inovasi sebagai sarana pengembagan
kecintaan masyarakat bugis terhadap bahasa dan aksara bugis berbasis kearifan
lokal. Maka dari itu, kami menawarkan suatu gagasan yang berjudul KOLONIS “komik lontara bugis” berbasis kearifan
lokal Sulawesi-selatan.
Kolonis merupakan suatu
rancangan karya sastra daerah bugis yang isinya berupa tulisan dan aksara bugis
yang dihiasi dengan gambar-gambar unik yang mengisahkan sejarah-sejarah
masyarakat Sulawesi-selatan. Sejarah merupakan kisah-kisah yang terjadi pada
masa lampau yang dapat dijadikan sebagai pembelajaran untuk hal-hal yang
positif. Dengan hadirnya kolonis ini diharapkan mampu meningkatkan kembali
kecintaan masyarakat bugis terhadap adat dan budayanya dalam menggunakan bahasa
bugis. Kemudian, dengan kisah-kisah sejarah yang ditawarkan juga diharapkan
menjadi edukasi dan pembelajaran bagi masyarakat dan generasi muda pada
khususnya yang mulai meninggalkan bahkan melupakan sejarahnya sendiri.
Menilik dan menelaah
perkembagan komik diberbagai belahan daerah di dunia seperti japang yang pada
umumnya menggunakan bahasa kanji maka KOLONIS ini menjadi sepak terjang untuk
bersaing dalam bidang sasatra dengan Negara-negara lain.
Lontaraq adalah sebutan naskah
bagi rakyat Sulawesi Selatan. Kata ini diambil dari bahasa Jawa/Melayu yaitu
lontar atau palem tal (Borassus flabellifer). Dengan begitu, lontaraq
adalah naskah yang ditulis pada daun tal, tradisi yang juga dilakukan oleh
orang Sunda, Jawa, dan Bali dalam menulis naskah rontal mereka. Ada pula yang
berpendapat bahwa secara etimologis kata lontarak terdiri dari dua kata: raung
(daun) dan talak (lontar). Kata raung talak mengalami proses
evolusi menjadi lontarak. Lontara bugis merupakan sebutan untuk aksara
atau tulisan bugis yang memiliki ciri khas tertentu. Berikut adalah contoh
aksara bugis tersebut (Alim, 2001).
Sumber:
Ada begitu banyak kisah
dan sejarah masyarakat bugis di Sulawesi-selatan. Salah-satunya adalah sejarah
ilagaligo. Dengan diangkatnya sejarah tersebut menjadi sebuah komik yang unik
tentunya akan semakin menambah kepopuleran masyarakat bugis di Indonesia.
Filosofi dan
Sejarah Aksara Lontara
Aksara Lontara (ada yang menyebutnya Lontaraq atau
Lontarak) ialah aksara asli masyarakat Bugis, Makassar, dan Mandar di Sulawesi
Selatan. Sebetulnya masih ada huruf Makassar Kuno, yang usianya lebih tua dari
aksara Lontara. Namun yang kemudian lestari adalah Lontara. Ada yang
berpendapat, bahwa Lontara ini berbeda dengan aksara-aksara lain di Indonesia
seperti aksara Bali, Jawa, Lampung, Sunda, yang oleh sebagian besar filolog
dikaitkan dengan aksara Pallawa dari India. Aksara Lontara ini tidak
dipengaruhi budaya lain, termasuk india. Namun ada pula yang berpendapat bahwa
aksara ini merupakan turunan dari Pallwa. Selain aksara sendiri, masyarakat
Bugis menggunakan dialek sendiri yang dikenal dengan “bahasa Ugi”. Sementara
itu, suku lainnya di Sulawesi Selatan yaitu Saqdan Toraja, tak memiliki tradisi
menulis, hanya memiliki tradisi lisan (Andi, 2005).
Bentuk aksara
Lontara, menurut budayawan Prof Mattulada, berasal dari “sulapa eppa wala
suji”. Wala berarti “pemisah/pagar/penjaga”, dan suji
yang berarti “putri”. Wala suji adalah sejenis pagar bambu dalam acara
ritual yang berbentuk belah ketupat. Sulapa eppa, berarti “empat
sisi”, merupakan bentuk mistik kepercayaan Bugis-Makassar klasik yang
menyimbolkan susunan semesta, yakni api-air-angin-tanah. Maka darki itu, bentuk
aksara Lontara sendiri berbentuk segi empat (belah ketupat). Hal ini didasari
pemahaman filosofis kultural masyarakat Makassar bahwa kejadian manusia berasal
dari empat unsur, yaitu butta (tanah), pepek (api), jeknek
(air), dan (anging) angin (Andi, 2005).
Menurut sejarah,
aksara Lontara diperkenalkan oleh Sabannarak atau Syahbandar Kerajaan
Gowa yang bernama Daeng Pamatte. Ketika Kerajaan Gowa diperintah oleh Raja Gowa
IX Daeng Matanre Karaeng Manngutungi yang bergelar Karaeng Tumapakrisik
Kallonna, Daeng Pamatte menjabati dua jabatan sekaligus yaitu Sabannarak
merangkap Tumailalang (Menteri Urusan Istana dan Dalam Negeri). Pada
waktu itu Karaeng Tumapakrisik Kallonna memberikan titah kepada Daeng Pamatte
untuk menciptakan aksara yang dapat dipakai untuk tulis-menulis. Pada 1538,
Daeng Pamatte berhasil mengarang aksara Lontara yang terdiri atas 18 huruf dan
juga tulisan huruf Makassar Kuno. Akhirnya, aksara Lontara ini dipermoderen dan
bentuknya lebih disederhanakan sehingga jumlah hurufnya menjadi 19, akibat
masuknya pengaruh bahasa Arab (John, 2002).
Sistem Aksara Lontara
Aksara Lontara
telah ada sejak abad ke-12. Aksara ini berjumlah 23 huruf (termasuk bunyi
konsonan dan vokal a) yang disusun berdasarkan aturan tersendiri.
Dalam sistem aksara ini, dikenal penanda vokal untuk u, e, o, ae (Alim, 2001).
Berikut tabel aksara Lontara:
Sumber:
Namun, aksara
Lontara tidak mengenal hurup atau lambang untuk mematikan hurup misalnya sa
menjadi s. Ketiadaan tanda-mati ini cukup membingungkan bila ingin
menuliskan huruf mati. Juga, di banding aksara-aksara lain, aksara Lontara tak
memiliki semua fonem. Beberapa huruf ditafsirkan secara teoretis dengan
sembilan cara berbeda, dan ini juga kadang-kadang menimbulkan masalah bagi
penafsiran pembaca. Maka dari itu, di masyarakat Bugis dikenal adanya elong
maliung bettuanna, yakni nyanyian dengan makna tersembunyi. Misalnya kata buaja
buluq (buaya gunung) merujuk pada macang (harimau). Ejaan macang
sama dengan ejaan macca (pintar), yang menjadi makna turunan dari buaja
buluq.
Kebudayaan diciptakan karena adanya
kebutuhan(needs) manusia untuk mengatasi berbagai problem yang ada
dalam kehidupan mereka. Melalui suatu proses berfikir yang diekspresikan
kedalam berbagai wujud. Salah satu wujud kebudayaan manusia adalah tulisan.
Seperti halnya dengan wujud-wujud kebudayaan lainnya. Penciptaan tulisan pun
diciptakan karena adanya kebutuhan manusia untuk mengabdikan hasil-hasil
pemikiran mereka (Balqis, 2009).
Menurut Coulmas,
pada awalnya tulisan diciptakan untuk mencatatkan firman-firman tuhan, karena
itu tulisan disakralkan dan dirahasiakan. Namun dalam perjalanan waktu dengan
berbagai kompleksitas kehidupan yang dihadapi oleh manusia, maka pemikiran
manusia pun mengalami perkembangan demikian pula dengan tulisan yang dijadikan
salah satu jalan keluar untuk memecahkan problem manusia secara umumnya.
Seperti yang dikatakan oleh Coulmas “a
king of social problem solving, and any writing system as the comman solution
of a number of related problem” (1989:15)
Begitu pula yang terjadi pada kebudayaan di
Indonesia. Ada beberapa suku bangsa yang memiliki huruf antara lain. Budaya
Jawa, Budaya Sunda,
Budaya Bali, Budaya Batak, Budaya Rejang,
Budaya Melayu, Budaya Bugis dan Budaya Makassar.
Sementara bila ditempatkan dalam kebudayaan bugis, Lontaraq mempunyai dua
pngertian yang terkandung didalamnya (Alim, 2001):
a.
Lontaraq sebagai sejarah dan ilmu pengetahuan
b.
Lontaraq sebagai tulisan
Kata lontaraq
berasal dari Bahasa Bugis/Makassar yang berarti daun lontar. Kenapa disebuat
sebagai lontaraq ? karena pada awalnya tulisan tersebut di tuliskan
diatas daun lontar. Daun lontar ini kira-kira memiliki lebar 1 cm sedangkan
panjangnya tergantung dari cerita yang dituliskan. Tiap-tiap daun lontar
disambungkan dengan memakai benang lalu digulung pada jepitan kayu, yang
bentuknya mirip gulungan pita kaset (Andi, 2005). Cara membacanya dari kiri
kekanan. Aksara lontara biasa juga disebut dengan aksara sulapaq eppaq. Dimana
karakter huruf bugis ini diambil dari Aksara Pallawa (Rekonstruksi aksara dunia yang dibuat oleh
Kridalaksana). Berikut adalah skemanya:
Skema
diatas menjelaskan bahwa ternyata karakteristik aksara lontara bugis berawal
dari aksara pallawa yang kemudian melahirkan aksara jawa, bugis, thai dan lain
sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar